1.
PENGERTIAN
Menurut
Tatang M Anirim, sistem adalah
sekumpulan unsur yang melakukan kegiatan atau menyusun skema dalam melakukan
tatacara suatu kegiatan pemprosesan untuk mencapai sesuatu atau beberapa
tujuan.
Sistem Komunikasi
adalah sekumpulan unsur-unsur atau orang-orang yang mempunyai pedoman dan media
yang melakukan suatu kegiatan mengelola, menyimpan, mengeluarkan ide, gagasan,
simbol, dan lambang yang menjadikan pesan dalam membuat keputusan untuk
mencapai suatu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah
pesan itu menjadi sumber informasi.
Sistem ini merupakan rumusan baru
bagi Indonesia meskipun pelaksanaannya secara implisit telah dilakukan oleh
Bangsa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari, terutama melalui norma Sistem
Pers Indonesia. Namun rumusan yang jelas tentang Sistem Komunikasi Indonesia
masih belum dimiliki.
Dengan merumuskan Sistem Komunikasi
Indonesia maka kita akan memiliki sebuah bangunan sistem dalam berkomunikasi
yang seragam serta menjadi ciri dan karakter Bangsa Indonesia. Bangunan dari
sistem komunikasi Indonesia itu akan berlandaskan pada pola komunikasi yang
dikembangkan di Indonesia dengan perangkat nilai dan perundangan yang ada.
Sebab pola komunikasi didalam suatu negara akan menentukan bangunan sistem
komunikasi yang akan dikembangkan di negara ini.
2.
CIRI-CIRI
a.
Sistem
Pers Indonesia
Menurut Haris Sumadiria (2004) mengatakan ciri-ciri pers adalah sebagai berikut:
i.
Periodesitas. Pers harus terbit secara
teratur, periodek, misalnya setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, dan
sebagainya. Pers harus konsisten dalam pilihan penerbitannya ini.
ii.
Publisitas. Pers ditujukan (disebarkan)
kepada khalayak sasaran yang sangat heterogen. Apa yang dimaksud heterogen
menunjuk dua hal, yaitu geografis dan psikografis. Geofrafis menunjuk pada data
administrasi kependudukan, seperti jenis kelamin, kelompok usia, suku bangsa,
agama, tingkat pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan, dan sebagainya. Sedangkan
psikografis menunjuk pada karakter, sifat kepribadian, kebiasaan, adat
istiadat, dan sebagainya.
iii.
Aktualitas. Informasi apapun yang
disuguhkan media pers harus mengandung unsur kebaruan, menunjuk kepada
peristiwa yang benar-benar baru terjadi atau sedang terjadi. Secara etimologis,
aktualitas (actuality) mengandung arti kini dan keadaan sebenarnya, secara
teknis jurnalistik, aktualitas mengandung tiga dimensi: kalender;waktu;
masalah. Aktualitas kalender berarti merujuk kepada berbagai peristiwa yang
sudah tercantum atau terjadwal dalam kalender. Aktualitas waktu berkaiutan
dengan peristiwa yang baru saja terjadi, atau sesaat lagi akan terjadi.
Aktualitas masalah berhubungan dengan peristiwa yang dilihat dari topiknya,
sifatnya, dimensi dan dampaknya, kharakteristiknya, mencerminkan fenomena yang
senantiasa mengandung unsur kebaruan.
iv.
Universalitas. Berkaitan dengan kesemestaan
pers dilihat dari sumbernya dan dari keanekaragaman materi isinya.
v.
Objektivitas. Merupakan nilai etika dan moral
yang harus dipegang teguh oleh surat kabar dalam menjalankan profesi
jurnalistiknya. Setiap berita yang disuguhkan itu harus dapat dipercaya dan
menarik perhatian pembaca.
3.
Ruang Lingkup
a. Ruang Lingkup Sistem
Komunikasi Indonesia
Jika ditinjau dari segi wilayah geografisnya, sistem komunikasi
bisa dibagi menjadi dua, yakni sistem komunikasi di pedesaan dan perkotaan. Di
Indonesia realitas komunikasi di perkotaan dengan di pedesaan sangat
berbeda jauh. Di desa, sistem komunikasi sangat dipengaruhi oleh keberadaan
opinion leader (pemimpin opini, pemuka pendapat) sebagai pihak penerjemah
pesan, interpretator karena kelebihannya dibandingkan masyarakat kebanyakan.
Adapun masyarakat kota, sistem komunikasi sangat dipengaruhi oleh keberadaan
media massa mengingat ciri masyarakat kota lebih individualistis dibandingkan
masyarakat desa. Ini juga sejalan dengan tingkat perkembangan pendidikan warga
kota yang memungkinkan mereka lebih bergantung pada media massa.
4.
Landasan
Hukum
a.
Sistem
Pers Indonesia
pasal 15 (tentang peran dewan pers dan keanggotaan dewan pers), dan pasal
17 (tentang peranan masayarakat dalam kehidupan pers) UU no 40 tahun 1999.
Dalam pasal 6 UU Pers no 40 tahun 1999 dinyatakan, pers nasional
melaksanakan peranan sebagai: a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b.
Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi dan hak-hak azasi manusia serta
menghormati kebhinekaan; c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan infoemasi
yang tepat, akurat, dan benar; d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan
saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; e.
Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Beberapa
landasan hukum mengenai pers diatur
melalui dewan pers.
Bab II
Ulasan mengenai
keterkaitan Sistem Komunikasi Indonesia dengan Sistem Pers Indonesia yang
berlandaskan pada Ideologi Pancasila
I.
Pembahasan
Pada bab sebelumnya telah dijelaskan mengenai
Sistem Komunikasi Indonesia dan Sistem Pers Indonesia. Dalam bab II ini akan
dibahas mengenai lebih dalam keterkaitan SKI denga SPI dilihat dari landasan
Ideologi Pancasila yang digunakan pada kedua sistem.
1. Pancasila Sebagai Acuan
Normatif Bangsa Indonesia.
Sejak dikumandangkannya teks
proklamasi oleh kedua tokoh proklamator Soekarno-Hatta pada 17 Agustus 1945
silam, dan disahkannya Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 agustus 1945, Indonesia
telah meletakkan pandangan hidup bangsanya kepada lima sila (Pancasila)
sebagaimana dapat dilihat dalam alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945.
Dalam
rumusan alinea keempat pada Pembukaan UUD 1945 itu, telah memberikan penegasan
tentang fungsi dan tujuan negara Indonesia, bentuk negara dan dasar falsafah
negara Indonesia.
Pernyataan
yang terkandung didalam alinea ke-empat UUD 1945 itu memberikan arti bahwa
fungsi, tujuan dan bentuk negara Indonesia dilandaskan kepada makna fllosofis
yang terkandung di dalam kalimat sesudah kata-kata "dengan berdasar
kepada" tersebut, yaitu suatu rumusan yang akhirnya dikenal dengan
PANCASILA.
Sila-sila
dari lima sila (Pancasila) tersebut menjadi acuan normatif bagi Bangsa
Indonesia dalam melaksanakan segala bentuk kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat yang pada dasarnya mengatur kehidupan manusia Indonesia secara
horizontal yakni bagaimana berhubungan dengan sesama nilai yang terkandung
didalam Pancasila itu. Nilai inilah yang menjadi dasar negara, jiwa,
kepribadian dan pandangan hidup Bangsa Indonesia.
Menjadi
kepribadian bangsa memberikan arti bahwa Pancasila merupakan suatu ciri kepribadian
Bangsa Indonesia yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain, sekaligus
memberikan watak tertentu bagi Bangsa Indonesia dalam kehidupan dan
berinteraksi antar sesama. Sebagai pandangan hidup bangsa memberikan arti bahwa
nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila telah diyakini kebenarannya dan
menimbulkan tekad bagi Bangsa Indonesia untuk mewujudkannya.
Pancasila
diterima sebagai dasar negara, disamping sebagai pandangan hidup bangsa,
berarti nilai-nilai Pancasila selalu harus menjadi landasan bagi pengaturan
serta penyelenggaran negara. Hal ini memang telah diusahakan dengan menjabarkan
nilai-nilai Pancasila kedalam peraturan perundangan yang berlaku. (P. Wahana,
Filsafat Pancasila, 1996 Hal.65).
2. Pancasila Dalam Kehidupan
Komunikasi
Jika
dikaitkan dengan komunikasi, nilai yang terkandung dalam tiap-tiap sila dari
Pancasila mempunyai implikasi khusus pada kegiatan komunikasi. Seperti sila
pertama memberikan pengakuan secara khusus pada eksistensi bentuk
komunikasi transendental, yaitu sebagai manifestasi dari pengakuan
Bangsa Indonesia terhadap sesuatu yang gaib yang dipandang ikut menentukan
keberhasilan Bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya. Dalam hal ini berkat
doa dan kepercayaan Bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang sangat
menentukan keberhasilan Bangsa Indonesia dalam berjuang memperebut kemerdekaan.
Sila
kedua menuntut adanya komunikasi manusiawi dengan
menerapkan etika komunikasi yang adil dan beradab, sila ketiga
mengisyaratkan pelaksanaan norma-norma komunikasi organisasi, komunikasi
politik termasuk komunikasi lintas budaya dan komunikasi tradisional yang
bernuansa persatuan dan kesatuan, sila keempat memberikan tekanan pada
pengakuan dilaksanakannya komunikasi dua arah dan timbal balik yang menghubungkan
secara vertikal, horizontal maupun diagonal antara pemerintah dan masyarakat
dan sebaliknya yang berorientasi pada kesamaan dan kesepakatan, baik keluar
maupun kedalam dengan menggunakan model relational.
Akhirnya,
sila kelima mengandung makna implikasi komunikasi sosial, komunikasi
bisnis maupun komunikasi administrasi dan management dengan berorientasi pada
asas keseimbangan dan keserasian bertujuan agar terjadinya perubahan sosial
yang lebih baik secara material maupun spiritual.
Bila
dilihat Pancasila dalam perspektif komunikasi tersebut, maka segala tingkah
laku Bangsa Indonesia dalam kehidupan dan kegiatan komunikasi didalam berbagai
bidang seperti bidang sosial, politik, ekonomi, hukum, budaya dan sebagainya;
haruslah dilandasi oleh nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Sistem Pers Pancasila
Sesungguhnya
istilah Pers Pancasila sudah dikemukakan oleh M.Wonohito, seorang wartawan
senior kenamaan, jauh sebelum dicanangkan secara resmi oleh Dewan Pers dalam
Sidang Pleno XXV di Surakarta pada tanggal 7-8 Desember 1984.
Alasan
Wonohito untuk menampilkan apa yang ia sebutkan "Pancasila Press
Theory", adalah sesungguhnyua pers tidak dapat diangkat dan tidak dapat
ditinjau lepas daripada struktur masyaraktnya. Oleh karena itu struktur sosial
politik bersifat menentukan bagi corak, sepak terjang serta tujuan yang hendak
dicapai oleh Pers. Dan karena struktur sosial politik dilandasi masyarakat,
pers pun berlandaskan atas sosial politik yang berkembang di masyarakat dan
mencerminkan falsafah masyarakat".
Negara
sebagai sebuah kesatuan wilayah, sebuah kesatuan politik yang memiliki otonomi
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara warga
negaranya dapat dikatakan sebagai sebuah sistem makro yang mencakup beragam
sistem-sistem lain didalamnya. Sudah menjadi kewajiban mutlak bagi sebuah
negara untuk mampu melindungi, mengatur, dan menjaga kelangsungan sistem-sistem
lainnya yang berada dibawah ruang lingkupnya.
Pers
sebagai sebuah media untuk menyalurkan, untuk mewujudkan kebebasan itu
sudah pasti tentunya harus mendapatkan porsi jaminan yang besar. Dalam
mewujudkannya setiap negara pastilah memiliki latar belakang dan cita-cita yang
berbeda, ini pulalah yang setidaknya berdampak pada diferensiasi pedoman dan
aktualisasi peran negara dalam menjamin terus berjalannya sistem pers yang
dipergunakan.
Untuk
hal yang satu ini Indonesia terbilang berbeda dibandingkan dengan negara-negara
lainnya yang cenderung mengikuti teori-teori para ahli terkemuka. Indonesia
“sekali lagi” mempergunakan nama Pancasila untuk mendefinisikan sistem pers
yang dianutnya. Seolah terlihat begitu sakral begitu nama Pancasila dilekatkan.
Dalam
pembahasannya itu Wonohito menyinggung pula empat teori pers dari buku terkenal
"Four Theories of the Press" yang ditulis oleh Fred S Siebert,
Theodore Peterson, dan Wilbur Schramm. Menurutnya keempat teori pers itu
menurutnya boleh kita tambahkan satu sistem lagi, yaitu Pancasila Press Theory,
sebab falsafah Pancasila melahirkan teori pers sendiri, yang tidak termasuk
dalam empat teorinya Siber, Peterson dan Schramm itu.
Intisari
keputusan sidang pleno XXV Dewan Pers mengeani pers pancasila itu, adalah sbb;
- Pers Indonesia adalah Pers Pancasila dalam
arti pers yang orientasi, sikap dan tingkah lakunya berdasarkan pada
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.
- Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila
dalam arti mengamalkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pembangunan berbagai
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk
pembangunan pers itu sendiri.
- Hakikat Pers Pancasila adalah Pers yang
sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan
fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyaluran
aspirasi rakyat dan kontrol sosial konstruktif. Melalui hakikat dan fungsi
pers pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat
terbuka yang demokratis dan bertanggung jawab.
Hingga
kini perdebatan mengenai definisi konsep dari sistem pers Pancasila masih saja
terjadi, dan belum mencapai satu kesespakatan pasti. Namun menurut Bappenas sistem
pers Pancasila, yaitu pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab serta lebih
meningkatkan interaksi positif serta mengembangkan suasana saling percaya
antara pers, Pemerintah, dan golongan-golongan dalam masyarakat untuk
mewujudkan suatu tata informasi di dalam kondisi masyarakat yang terbuka dan
demokratis1.
Daftar pustaka
Agus Sudibyo, 2001, Politik
Media dan Pertarungan Wacana, LkiS, Yogyakarta.
Nurudin, 2004, Sistem Komunikasi Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta
Harris Sumadiria, 2005, Menulis
Artikel dan Tajuk Rencana, Simbiosa Rekatama Media, Bandung.
Tribuana Said, 1988, Sejarah
Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila, CV Haji Masagung, Jakarta.
Maswadi Rauf, 1993, Indonesia
dan Komunikasi Politik, Gramedia, Jakarta.
Undang-undang nomer 40 tahun
1999.